Selasa, 25 Februari 2014

[Mozaik Blog Competition] Menulis Untuk Sembuh


Event Mozaik Blog Competition sponsored by beon.co.id. Pada kalimat Mozaik Blog Competition beri url lomba ini dan pada kata beon.co.id sertakan url web: beon.co.id


Haloh semuah,
Kali ini, tulisan saya akan sedikit berbeda dari tulisan-tulisan saya sebelumnya. Karena tulisan ini, adalah tulisan yang saya ikutsertakan dalam Event Mozaik Blog Competition sponsored by beon.co.id. Sejujurnya, ini adalah kali pertama saya mengikuti lomba blog semacam ini. Namun terlepas dari itu semua, tulisan ini saya tulis untuk berbagi tentang apa yang saya rasa, saya pahami dan saya alami tentang dunia kepenulisan itu sendiri. Well, saya rasa banyak dari kalian yang secara tidak sengaja nyasar ke blog ini adalah orang-orang yang punya passion di dunia kepenulisan juga. Kalaupun tidak, setidaknya suka membaca, kan?

Menulis. Bagi saya, menulis itu tidak sekadar menyusun satu kata dengan kata yang lainnya, merangkainya menjadi kalimat-kalimat yang bermakna. Meskipun pada dasarnya memang demikian, namun bagi saya, menulis berarti lebih dari sekadar merangkai kata. Menulis itu obat. Menulis itu menyembuhkan. Bagi sebagian orang mungkin akan mengerti dengan apa yang saya maksud. Kalaupun tidak, silahkan dicoba. Menulislah disaat kamu ingin menulis. Menulislah apapun yang ingin kamu tulis. Jangan memaksakan dirimu untuk menulis apa yang tidak ingin kamu tulis. Singkatnya, menulislah dari hati. Dengan begitu, apa yang saya katakan tentang menulis, bahwa menulis itu menyembuhkan, akan kalian mengerti dengan sendirinya.

Kecintaan saya dalam dunia menulis dimulai saat saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Bukan, saya tidak jatuh cinta pada dunia kepenulisan karena novel-novel sastra pada saat itu. Bagaimanalah saya jatuh cinta dari novel-novel semacam itu. Bahkan usia saya saat itu mungkin belum mengerti rangkaian-rangkaian kata yang tercetak di dalamnya. Cerita bergambar. Ya, ini semua hanya berawal dari beberapa cerita bergambar yang saya temukan pada beberapa halaman majalah anak-anak. Saya beruntung, sejak kecil, Ibu saya membiasakan anak-anaknya untuk cinta membaca. Jadi hampir setiap minggu, Ibu akan membawakan sebuah majalah anak-anak yang fenomenal itu. Bahkan kelihatannya, majalah itu masih terbit hingga sekarang. Salut!

Dari yang awalnya hanya tertarik dengan gambar-gambarnya saja, saya mulai membaca ceritanya dan mengikuti serinya. Begitu seterusnya. Semakin bertambah usia saya, dengan kemampuan membaca dan pemahaman yang tentu saja juga bertambah, saya akhirnya ketagihan membaca cerita pendek. Dan itu berlanjut hingga remaja bahkan hingga sekarang. Sampai majalah saya bukan lagi majalah anak-anak, tetapi majalah remaja, bahkan, beberapa waktu yang lalu, saya mulai ketagihan membaca majalah sastra. Benar, kata-kata itu memang candu. Dan saya tidak bisa berhenti.

Saya masih ingat, ketika masih SD, saya punya sebuah buku tulis yang saya khususkan untuk cerita-cerita pendek saya (tulisan saya). Cerita pendek saya jaman SD : benar-benar pendek. Mungkin dalam satu cerita, hanya terdiri dari lima alinea. Well, sewaktu kecil, kita memang sering menerjemahkan segala sesuatunya secara harfiah, kan? Jadi, cerita pendek sewaktu itu ya saya buat sependek mungkin supaya ia bisa benar-benar bisa disebut sebagai cerita pendek. Duh.

Menginjak SMP, saya mulai menulis cerpen yang sebenarnya. Karena pada saat itu, saya sudah mendapat materi tentang cerpen di pelajaran Bahasa Indonesia. Saya ingat, guru Bahasa Indonesia saya pernah bilang kepada kami, saya dan teman-teman, untuk mencoba menulis cerpen dan mengirimkannya ke majalah atau surat kabar. Honornya lumayan, kata beliau. Saya merasa tertantang. Dimulailah penulisan cerpen yang sesungguhnya. Dan, penolakan demi penolakan saya dapatkan. Sebenarnya tak pernah ada penolakan, hanya saja karya saya tidak pernah diterima atau dipublikasikan.
           
Waktu berselang, saya tumbuh dan mulai mengenal banyak hal baru. Hobi-hobi baru. Membuat saya sedikit lupa dengan apa itu menulis. Sampai pada satu hari, sesuatu yang bisa dikatakan buruk terjadi pada saya. Saat itu, saya benar-benar merasa tengah jatuh. Benar-benar di bawah. Saya mengecewakan banyak orang yang sudah berkorban banyak untuk saya. Disaat-saat seperti itu, entah kenapa, yang ingin saya lakukan hanyalah menulis. Tiap kali menulis, rasanya beban terangkat sedikit demi sedikit. The power of writing, mungkin? Itulah sebabnya saya katakan bahwa menulis itu menyembuhkan.

Disaat saya sedang getol-getolnya menulis, saya tertarik pada satu rubrik di salah satau koran lokal saat itu. Biasanya, saya menulis fiksi. Sejujurnya, fiksi gagal, karena semuanya tidak pernah dimuat di majalah atau koran manapun. Tapi kali itu, entah mengapa saya mencoba menulis opini. Jadi, dalam satu koran lokal saat itu, terdapat tema tiap minggunya. Nah, berdasarkan tema itu, pembaca boleh mengirimkan opininya. Dan yang beruntung, tentu saja, opininya akan dimuat dengan bonus berupa sejumlah uang. Seminggu kemudian, saya dapati tulisan saya yang hanya terdiri dari tiga paragraf itu terpampang pada salah satu halaman koran lokal. Rasanya saya ingin teriak saat itu. Akhirnya! Untuk pertama kalinya tulisan saya dimuat. Meskipun hanya sebuah opini sepanjang tiga paragraf, setidaknya, ini awal yang baik, pikir saya saat itu. Saya pun mendapat bonus alias honor sebesar lima uluh ribu rupiah. Lumayan lah untuk saya yang masih SMA saat itu. Saya selalu menyebut honor menulis sebagai bonus. Kenapa ya? Karena saya rasa, apresiasi tertinggi dari sebuah tulisan itu terletak pada seberapa banyak tulisan itu dibaca, dinikmati dan memberikan pengaruh terhadap pembacanya. Mendapatkan karya kita berada pada salah satu halaman media cetak, merupakan hal membahagiakan yang tidak bisa diukur dengan nominal uang. Meskipun pada akhirnya, setiap orang juga membutuhkan uang. Sejak hari itu, saya yang sempat berhenti menulis karena merasa tulisan saya tidak pernah layak muat ini kembali berkutat lagi dengan dunia tulis-menulis.

Tentang fiksi, saya masih punya mimpi untuk bisa menjadi penulis fiksi. Entahlah, ada banyak hal berada di kepala ini. Saya sering menemukan tokoh-tokoh imajinatif di kepala saya, dengan alur hidup mereka yang saya ciptakan sendiri. Kalau mereka sedang memenuhi pikiran rasanya ingin segera menuangkannya dalam tulisan. Sebenarnya, kalau mau jeli, setiap orang pasti punya genre favorit untuk dibaca. Dan biasanya, genre bacaan favorit akan mempengaruhi genre tulisan kita juga. Meskipun kadang, tidak semuanya seperti itu. Saya sendiri, tidak pernah menyadari hal ini sampai suatu hari saya mengingat-ingat apa saja yang sudah say abaca, mana yang saya suka dan mana yang tidak. Dari situ, saya menemukan bahwa saya tipe pembaca yang menyenangi cerita berbau traveling. Baik fiksi, maupun non-fiksi. Contohnya saja salah satu novel dari Ahmad Fuadi, dari trilogi Negeri Lima Menara-nya, yakni Rantau 1 Muara. Disana tergambar kehidupan penulis ketika tengah menjalani kehidupan di belahan dunia yang lain. Lalu novel 99 Cahaya di Langit Eropa, juga Edendor milik Andrea Hirata. Dan tentu saja, The Naked Traveler-nya mbak Trinity. Cerita-cerita tentang perjalanan, apalagi perjalanan diluar Indonesia selalu membuat saya semangat membaca. Jujur saja, untuk membaca buku/novel yang berbau traveling, saya membutuhkan aktu yang lebih singkat dari novel lain pada umumnya, hal ini ikarenakan saya haus akan hal-hal yang belum saya ketahui, apa yang ada di belahan dunia lain, hal-hal yang tak pernah terpikir oleh saya, hal-hal yang tak pernah saya jumpai. Dan itu membuat saya sulit untuk berhenti membaca, penasaran akan kisah pada lembar-lembar berikutnya. Disamping novel-novel yang berbau traveling, saya juga menyenangi novel-novel yang para remaja senangi pada umumnya. Saya membaca Refrain, Perahu Kertas, Cerita Hati, bahkan saya juga membaca novel-novel komedi seperti Idol Gagal, Satu Per Tiga atau Tulang Rusuk Susu. Tapi dari kesemua novel remaja yang selama ini pernah saya baca, sama halnya dengan teman-teman lain, pasti selalu ada satu novel yang ‘lebih’ dari yang lain. Mungkin bisa karena novel itu paling disenangi, atau karena penulisnya adalah penulis kesukaan atau alasan lain yang membuat novel itu ‘lebih’ dimata kita. Namun bagi saya, alasan itu adalah seberapa ‘personal’nya novel itu bagi saya. Jujur, novel yang paling saya kagumi hingga saat ini adalah Perahu Kertas karya Dewi Lestari. Bukan semata-mata karena kepopulerannya dan kesuksesannya hingga novel ini telah diangkat menjadi sebah film. Tapi, seperti yang sudah saya ungkapkan, bahwa alasan saya adalah seberapa ‘personal’ novel itu untuk saya. Ya, Perahu Kertas ini sangat personal buat saya. Ini sulit dijelaskan. Yang pasti, setiap kali embaca novel ini, saya benar-benar ada di dalamnya. Saking personalnya buat saya, saya juga tidak ingin melewatkan dua film-nya, yang kemudian menjadi dua film favorit saya juga karena sangat personal juga buat saya. Entahlah, saya benar-benar ada didalamnya.

Yang jelas, fiksi yang telah menarik tangan saya ke dalam dunia ini, tulis-menulis. Membuat saya seperti terjerembab ke dalamnya, lalu kemudian tersenyum karena menikmati tiap prosesnya. Apapun, yang dilakukan dari hati, akan membawa kebahagiaan. Tentang berhasil atau tidaknya, itu hanya soal waktu, saya rasa. Toh Thomas Alfa Edison butuh berkali-kali percobaan untuk bisa menemukan bola lampu yang diharapkan. Jadi, sekadar ditolak oleh media cetak tau pun penerbit, mestinya tidak membuat kita berhenti menulis. Jadi teman-teman, selamat menulis!




Rabu, 22 Januari 2014

Kata Hati - Nadya Fatira (Cover)

Saya barusan bikin covernya Nadya Fatira yang berjudul Kata Hati. Iseng doang :)
Ini link-nya hahaha, udah kalo nggak pengin kupingnya iritasi nggak usah dibuka nggak-pa-pa kok :|
Kata Hati-Nadya Fatira (Cover)

Selasa, 14 Januari 2014

Aku, Beliau dan The Way Home

Selamat siang. Akhirnya nulis juga setelah sekan lama. Ya Tuhan, betapa jemariku merindukan keyboard ini. Haha

Well, judul yang --- aneh? Aku, Beliau dan The Way Home.
Sebenarnya, saya sedang tak ada bahan untuk ditulis. Lama nggak menulis, bukan cuma jari-jari tangan saja yang kagok. Tapi otak juga sama kagetnya. Ide nggak datang-datang. Bikin bosen.

Bosen. Sama seperti kemarin, ketika saya hanya berdiam diri di kosan tanpa kerjaan. Emm, ada lah beberapa hal yang seharusnya dikerjakan. Tapi karena mood sedang tidak baik, pada akhirnya saya hanya berdiam diri dan --- nonton film. Saya dapat film ini dari salah seorang teman saya yang beberapa waktu lalu sempat main ke kosan saya. Judulnya The Way Home.

Awalnya, saya nggak begitu tertarik dengan film-nya. Tapi setelah saya lihat, film ini layak kok ditonton. Layak banget. Mungkin kalian nggak akan menemukan adegan sedramatis sinetron Indonesia, adegan romantis sepasang remaja, atau begitulah. Tapi disini, kalian akan menemukan arti sebuah ketulusan. Ini apasih bahasanya sok banget :|

This movie reminds me of someone, somehow.
Saya nggak tahu ya apa reaksi kalian ketika nanti menonton film ini? Bisa jadi ketawa karena ada beberapa bagian yang konyol. Bisa jadi tertidur karena mungkin menurut kalian jalan ceritanya membosankan. Atau bisa jadi berkali-kali menahan air mata seperti saya, karena ...

Karena kenangan.

Jadi, film ini bercerita tentang seorang anak laki-laki (masih kecil) bersama ibunya yang pergi mengunjungi neneknya (ibu dari ibu anak laki-laki tadi) di desa. Desanya sih bukan yang terpencil gitu ya. Tapi jauh dari pusat kota. Ya begitulah. Settingnya mungkin di Korea, karena ini memang film Korea. Anak dan ibunya ini datangnya dari Seoul. Nah, si anak ini untuk beberapa hari dititipin ke neneknya karena ibunya ada urusan yang tidak bisa ditinggalkan.

Sang nenek sudah sangat tua. Dia tidak bisa bicara sehingga selalu menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi. Punggungnya sudah sangat bungkuk. Sementara cucunya, si anak laki-laki tadi, yang terbiasa hidup enak di kota, ketus sekali sama neneknya ini. Sikapnya kasar dan kurang bisa menghargai orang lain (baca : neneknya).

Inti ceritanya sih memang sesederhana itu. Tapi, kalau kita ikuti film-nya sampai habis, kita akan menemukan arti "tulus" yang sebenarnya. Banyak adegan-adegan menyentuh dimana si cucu selalu saja bersikap tidak baik, tapi sang nenek selalu menjaganya, menyayanginya. Agak miris juga sih ngelihat film ini, kenapa anak-cucunya tinggal enak di kota, sementara sang orang tua hidup sebatang-kara di tengah kemiskinan.

Ada adegan dimana sang nenek menjual buah hasil panennya ke pasar bersama si cucu. Hasil penjualannya, dibelikannya makanan untuk si cucu. Saat si cucu tengah makan dengan lahapnya, sang nenek hanya memesan segelas minuman.
Bukan cuma itu aja sih, masih banyak lagi bagian-bagian lain yang memaksa air mata saya jatuh. Tak mau kalah, air dari hidung juga turut meluncur (baca : ingusan). Duh.

Lalu, kenapa  'Aku, Beliau dan The Way Home'?
Aku itu saya. The Way Home adalah judul film yang sedari tadi saya kisahkan. Lalu beliau?
Beliau adalah seseorang yang begitu besar jasanya di hidup saya. Duh, ini mata saya mulai berkaca-kaca lagi *nggak bohong*

Ya, beliau adalah nenek saya. Bukan ibu dari ayah atau ibu saya. Kami tidak ada ikatan darah. Tapi saya menyebutnya nenek. Beliau adalah orang yang merawat saya sejak kecil. Dulu, sewaktu kecil, saat ayah dan ibu tidak bisa selalu menemani saya karena harus bekerja, beliau yang menjaga dan merawat saya. Kalau melihat tingkah Sang Woo (nama anak laki-laki di film itu) yang konyol dan nakal, saya jadi teringat masa kecil saya. Saya begitu nakal. Suka minta yang aneh-aneh. Kalau nggak diturutin nangis. Dan beliau masih dengan sabar merawat saya.

Pernah, dulu, sewaktu kecil, saya minta diajak ke pasar tapi harus digendong dan harus jalan (tak boleh naik kendaraan). Padahal jarak rumah embah (baca : nenek) saya tadi jauh dari pasar. Tapi tetap beliau turuti. *FYI, saya sudah benar-benar mengangis saat ini*

Saya juga ingat, dulu, sewaktu embah sedang mencuci pakaian di kali (baca : sungai) dan saya bermain-main menangkap ikan-ikan kecil, ada seorang teman kecil saya yang memang terkenal nakal dan waktu itu menjahili saya. Saya berteriak minta tolong. Lalu beliau (nenek) datang memarahi teman saya tadi sambil memberinya pelajaran (mengayun-ayunkannya di air hingga gelagapan). Dan akhirnya dia jera karena setelah itu dia tak pernah menjahili saya lagi. Malahan beberapa tahun setelahnya kami ada di kelas yang sama di salah satu Sekolah Dasar. Haha.

Beliau bukan orang yang kaya harta. Beliau orang yang sederhana. Tapi dalam kesederhanannya, saya bisa melihat hatinya yang begitu kaya. Kalau dipikir-pikir, mana ada orang yang mau merawat anak nakal seperti saya yang bahkan tidak memiliki darahnya dengan sangat sabar kalau bukan orang yang benar-benar tulus?

Tahun kedua di Taman Kanak-kanak.
Beliau mulai sakit-sakitan. Saya tidak lagi pulang ke rumah beliau seusai sekolah. Saya pulang ke rumah ayah-ibu. Sendiri. Iya, sejak saat itu sepulang sekolah saya di rumah sendiri. Duh, kasian.

Karena keadaan semakin memburuk dan beliau tinggal sendirian di rumahnya, akhirnya almarhum Pakdhe (kakaknya ayah saya) membawanya ke rumahnya untuk dirawat di sana. Almarhum Pakdhe saya ini sudah dianggapnya seperti anaknya sendiri karena memang beliau tidak punya anak. Dulu, sebelum saya, beliau (nenek) juga lah yang merawat kakak sepupu (anak dari almarhum Pakdhe) saya dan kakak saya.

Kelas 2 SMP.
Saya masih ingat, waktu itu saya tengah mengikuti pelajaran Bahasa Jawa. Lalu, salah seorang guru BP saya masuk ke kelas dan memanggil nama saya. Waktu saya keluar hendak menemuinya, saya malah disuruh membereskan buku-buku dan membawa serta tas saya keluar. Bingung. Tentu saja saya bingung.

Sampai di koridor depan ruang BP, saya dapati kakak saya dan kakak sepupu saya tengah duduk menunggu saya. Bingung. Saya semakin bingung. Tapi percaya atau tidak, setelah saya melihat ada kakak saya menjemput, saya tahu tengah terjadi sesuatu dengan beliau karena pada saat itu memang keadaan beliau sudah sangat lemah.  Dalam perjalanan, barulah saya diberi tahu kalau beliau (nenek) meninggal. Saya tidak menangis. Sama sekali. Bukannya tidak sedih. Terkadang, kesedihan yang teramat dalam justru membuat air mata membeku.

Sampai rumah pun, disaat sudah banyak orang-orang datang untuk takziah, airmata saya belum keluar. Saya lalu masuk kamar, menanggalkan seragam sekolah dan berganti baju. Disaat itulah saya menangis. Di balik pintu. Air mata saya jatuh deras, tanpa suara.

Hari-hari berlalu. Mungkin sudah sekitar enam tahun. Selama enam tahun ini, bahkan sampai sekarang, saya masih sering menangis kalau teringat akan beliau. Kadang, ketika sedang berjalan dan secara tidak sengaja berpapasan dengan nenek-nenek, saya tiba-tiba teringat beliau.

Pernah, waktu sedang berada di studio Gambar Arsitektur beberapa waktu yang lalu, penyakit maag saya kambuh. Lalu saya dan teman saya  pergi keluar untuk mencari obat dan air mineral. Di depan kampus, kami singgah di salah satu warung. Dan, penjaga warung tersebut adalah seorang nenek yang entah mengapa terlihat mirip sekali dengan beliau. Serius. Mirip.

Sampai sekarang, kalau sedang lewat depan kampus, saya selalu menoleh ke arah warung itu, siapa tahu saya bisa melihat nenek-nenek penjaga toko. Siapa tahu rindu saya terobati.

Dan kemarin, setelah menonton The Way Home, lagi-lagi saya diserang rindu yang amat sangat.
Beliau orang yang begitu besar jasanya di keluarga saya. Tanpa beliau, siapa yang merawat saya dan kakak saya?

Tuhan, jagalah beliau. 
Tempatkanlah beliau di tempat yang paling baik, yang paling dekat denganMu.
Berikanlah selalu kebaikan-kebaikan kepada beliau.
Sebagaimana kebaikan-kebaikannya dulu  selalu tercurah untukku.
Jangan lupa, selalu katakan padanya bahwa aku merindukannya.
Oh, dan satu lagi --- bila nanti tiba saatnya aku pulang kesana,
ijinkan aku untuk ada di dekatnya. Merasakan lagi dekapannya.
Amin.



Malang, 2014







Sabtu, 04 Januari 2014

Biarkan, Biarkan Saja

Biarkan saja burung-burung pagi itu bersembunyi dalam sarangnya. 
Biarkan saja. Biarkan mereka melepas lelah barang sebentar.
 Lagipula, kau tak ‘kan mati tanpa nyanyian-nyanyian pagi mereka.


Biarkan saja hujan deras memaksamu untuk tetap tinggal. 
Biarkan saja. Biarkan dia melepas rindunya yang tengah menggebu pada kecintaannya —- tanah. Lagipula, hujan tak ‘kan mengasihimu bila kau bersikeras 
berjinjit-jinjit di atas tanah, mendongakkan kepalamu di bawah
langit bak anak kecil. Dia tak ‘kan berhenti hanya karena melihatmu ada disana. 
Kau akan tetap basah kuyup dibuatnya.


Biarkan saja celoteh riang anak-anak kecil itu menghilang untuk beberapa saat. 
Biarkan saja. Biarkan mereka terpejam, bebas berlarian di alam mimpi. 
Lagipula, mereka akan sungguh merepotkanmu jika tengah terjaga.


Biarkan…
Biarkan saja…

Biarkan pagi ini menjadi pagi yang paling senyap.
Biarkan dirimu ada untuk dirimu sendiri.
Biarkan hatimu menata dirinya sendiri dalam kesenyapan.


Biarkan. Biarkan saja.

Antara Blog dan Tumblr

Yey, akhirnya terposting sudah tulisan pertama di tahun 2014. Telat sih, memang telat. Tapi biarkan saja saya mengucapkan SELAMAT TAHUN BARU di hari ke-empat tahun 2014 ini. Semoga segala sesuatunya berangsur baik, apapun itu. Amin :)

Emm, soal judul postingan ini?
Iya, belakangan saya memang jarang nge-blog. Tapi sejak beberapa hari yang lalu, saya mulai aktif menulis lagi di rumah lama yang tak terawat ---- Tumblr. Tapi tenang, blog ini seutuhnya masih akan menjadi rumah digital saya. Masih akan tetap ada dan harus ada. Hanya saja, mungkin saya bakalan jarang update. Tidak seperti dulu sewaktu masih SMP-SMA, dimana waktu luang rasanya tercecer dimana-mana. Hehe.

Oleh karenanya, boleh lah kalau temen-temen lagi nggak ada kerjaan mampir ke Tumblr saya. Isinya sih ya gitu-gitu aja sih. But I start to love Tumblr anyway :)

Gotta sleep very soooon. Bye.
:)

Sabtu, 14 September 2013

New Besties, I love Them!



Jumat, 13 September 2013

Emm.. ehem ehem.
It was so long ya. Berapa minggu ya saya nggak nulis di blog. Dan hari ini, saya terpaksa nulis di word karena koneksi internet kosan memang sangat tidak membahagiakan. Ya begitulah. Mungkin sudah sebulanan ini ya saya di Malang. Dan saya --- homesick? Sempet. Bukan karena apa-apa sih, tapi --- ah sudahlah.  Belakangan, tepatnya sudah dua hari ini, saya merasa agak kurang enak badan --- tepatnya perut. Iya, rasa-rasanya saya terserang maag. For your information aja nih, saya nggak pernah punya penyaki maag sebelumnya. Ya jadinya saya agak-agak heran sama diri saya sendiri. Ya gimana ya? Baru juga ngekos sebulan --- eh udah kena maag aja. Ya udah sih, salah saya juga.  Semenjak ospek emang makan sekenanya aja, sesempetnya. KAlau nggak sempet ya udah enggak makan. Ya gimana orang jam setengah lima pagi udah berangkat, jadi paling Cuma sarapan nasi sama susu. Siangnya, makan nasi kotak. Nasi kotak. Iya, nasi kotak. Nasi kotak yang nasinya Cuma beberapa sendok itu, dan harus dimakan dalam waktu lima menit bahkan kurang. Ya gimana banget gitu. Nggak nikmat. Dan nggak habis. Yang pada akhirnya --- nggak kenyang. Ya udah.

Pada akhirnya kemarin saya mengkonsumsi dua butir obat maag nan terkenal, sebut saja pro*mag. Paginya, saya paksa buat kuliah, meskipun di kelas rasanya udah lemes pengen muntah terus. Beruntung, waktu itu jadwal kuliah Cuma sampai jam 12 siang. Tapi nyampe kosan, cucian menanti. Satu ember penuh men! Gara-gara ospek --- semuanya menumpuk. Cucian numpuk, setrikaan numpuk, cintaku padamu juga ikut numpuk #salahfokus. Ya pada akhirnya, jam 3 sore saya nyuci. Bodohnya lagi, saya lupa kalau saya punya janji sama Lina, temen saya buat main sambil ngerjain tugas di kosannya dia. Duh. Saya jadi nggak enak, dan sore itu saya nggak mungkin ke kosannya dia karena sumpah saya lemes banget. Talk about Lina, saya beruntung banget punya temen kayak dia. Dia perhatian banget. Hari-hari sebelumnya, kami pernah membicarakan sesuatu yang somehow bikin saya ngerasa nyaman sama dia. I feel like, she knows me, and I know her meskipun kami baru saling kenal. Dan ya, dia nyerewetin saya supaya makan teratur dan harus tetep menjaga makanannya, jauhin pantangannya, jangan terlalu banyak konsumsi obat. Somehow I need someone yang memang mau cerewetin saya di saat-saat seperti itu. Yang biasanya Ibuk yang selalu ingetin. Tapi karena sekarang jauh, jadi ya beruntung banget punya temen kayak dia. Nah, ada lagi nih temen dket juga. Dia kosannya lumayan deket sih sama kosan saya. Jadi, tiap hari berangkat kuliah bareng meskipun sering beda kelas. Namanya Febi. Dia baik, perhatian dan uniknya kami tuh kenalan lewat sosmed. Setelah itu kami saling tukar nomor HP dan akhirnya janjian buat ke kampus bareng waktu belum mulai kuliah. Hahaha. Nggak tahunya sekarang kemana-mana sama dia. Satu lagi, namanya Icha. Dia baik, juga cantik. Dia sering main ke kosan dan ngerjain tugas bareng. Apalagi tugas ospek. Bikin nametag aja sampe 3 kali lebih. Perjuangan men!

Well, mereka semua anak Arsitektur. Sedihnya, kami nggak bisa terus-terusan sekelas. Tadi, saya dapet kelas barengan sama Icha dan Lina, sementara Febi terpisah. Jadinya ya kami cuma foto-foto bertiga --- nggak ada Febi. Inilah hasilnya --- meskipun sempet nahan malu karena ternyata pas kita foto secara diam-diam dari dalem kelas ada kakak tingkat yang ngelihatin dan kami nggak sadar *muka cengoh*. Ya udah sih, bodo amat.
 (kiri-kanan : Icha, saya)


 
(kiri-kanan : saya, Lina)

Itu di foto yang kedua saya lagi pegangin name tag yang bikinnya sampai berkali-kali untuk bisa disahkan oleh senior yang lebih ingin disebut dengan 'panitia ospek'. Dan menurut saya, name tag untuk jurusan arsitektur itu adalah name tag terumit dari seluruh name tag di jurusan lain, serius deh. No glue. Itungannya juga lebih ribet. Mudti lebih teliti dan hati-hati, beda semilimeter --- nggak sah dan musti ngulang lagi sampai bener. Oh men! Dari situ kesabaran benar-benar diuji, karena kami saya bikin sampai jam 1 malem, sementara jam 3-nya haus bangun untuk siap-siap ospek karena kamar mandi kosan yang terbatas jadi banyak yang antre. Udah gitu ternyata hasil lemburnya salah dan musti bikin lagi berkali-kali. Jadi, hampir tiap hari saya berangkat pagi buta dan pulang sehabis Maghrib. Kece kan? #apasih. Ya begitulah. Oh ya, sayang banget nggak ada foto Febi. Yang jelas, saya mulai happy di sini. Kuliah-kuliah awal juga masih asik kok. Lebih sering diajak keluar kelas untuk menggambar--- I mean sketching. And that's what I want selama ini. Nggak tahu deh nanti kalo semakin kebelakang semakin berat tapi paling nggak, I love the start first. Dan itu juga berkat mereka, bestieeeees! Muah.


Salam dari Mahasiswi Baru Yang Katanya Kece.
Bye.

                                                                                                                      

Sabtu, 24 Agustus 2013

Tulisan Pertama dari Malang

Selamat malam para pembaca yang sebenernya nggak setia...iya kan? Ngaku!!! Sebenernya kalian cuma nyasar kan di blog ini???? Ngakuuu!!!

Eh, coba deh baca judulnya sekali lagi. Apa? Udah? Coba deh sekali lagi. Mwaha. Iya, saya lagi di Malang nih. Ospek sih masih tanggal 4 September nanti, tapi tanggal segini udah nginep di kosan aja. Sebenernya ada satu partner kosan yang nantinya bakal ikut ngabisin oksigen di sini. Tapi dia-nya belum dateng. Ya sudaaaahh....

To be honest ya, saya nggak tahu sih musti nulis apa malam ini. Agaknya #CeritaDariKamar yang saya ikutin di sayembaranya kak Bara juga terpaksa mandeg. Iya, soalnya saya udah pindahan ke kos. Sementara ---- barang-barang kesayangan saya sengaja ditinggal di kamar (baca : kamar yang di rumah) lantaran nggak mungkin dibawa semua ke kosan. Walhasil, nggak ada barang yang bisa diceritain lagi. Ya mungkin nanti kalau nemu sesuatu yang menarik mungkin bisa dilanjutin lagi #CeritaDariKamar nya. Mungkin.

Anyway, saya sebenernya punya agenda mbolang (baca : jalan-jalan sesuka hati) ke beberapa destinasi di Malang sebelum ospek. Tapi --- no partner --- no guide. Sebenernya dua hal itu bukanlah masalah untuk seorang calon solo-traveler ya. Tapi --- no enough time!! Nah, itu baru masalah. Di rumah, di kosan sama aja. Kerjaannya nguplek-uplek (baca : ngotak-atik) tugas ospek yang rasanya nggak habis habis. 

Ahhhh ---- udah pegel nih. 
Udahan aja ya.
Jangan nangis.
Plis.
Jangan nangis dong ah.
Iya, besok nulis lagi.
Udah cup cup cup
Fix saya gila.


Salam Anak Kos Kemarin Sore.
Bye.

Rabu, 21 Agustus 2013

Solo Traveling - Malang

Heloh kalian semua yang ada dimana-mana...
dan kamu yang ada di hatiku... #abaikansaja

Well, sebenernya, untuk bulan ini, saya pengen banget bisa ikut project-nya kak Bara yang bernama #CeritaDariKamar. Tapi apa daya, kesibukan (cieh, gue sibuk!) membuat saya nggak bisa nulis tiap hari selama 31 hari di bulan Agustus ini.  Apalagi ini adalah bulan-bulan sibuknya maba (baca : mahasiswa baru). Saya pun mengalami betapa ribetnye bolak-balik kosan-rumah, packing ini-itu, mikirin tugas ospek. Iya, mikirin doang. Nggak dikerjain. 

 Oke, jadi sebenernya di postingan kali ini, saya mau cerita --- curhat tepatnya, soal pengalaman solo-traveling (baca : jalan-jalan sendirian) ke kota Malang. Well, mungkin bukan jalan-jalan ya. Tapi perjalanan. Karena kalau jalan-jalan itu kesannya seneng-seneng gitu. Tapi, saya ke Malang karena ada keperluan : ngambil jaket dan jas almamater. Udah, itu aja. Sebenernya boleh diwakilin dan boleh diambil pas udah mendekati ospek sih. Tapi? Ya karena udah dijadwalin tanggal segitu, dan rasanya nggak puas aja kalau musti ngambil nggak sesuai jadwalnya, akhirnya saya nekat ke Malang sendiri untuk kali pertama. Oh, men! Dan saya dapet banyak pengalaman baru meski cuma 2 hari 1 malam di sana.

Oke, jadi gini...

14 Agustus 2013

Waktu itu masih suasana lebaran yah, jadi di rumah banyak makanan dan tentunya --- tamu. Sebenernya nggak ada masalah, cuma, capek aja. Jadi, meskipun hari sebelumnya saya sudah packing, tapi tetep aja tanggal 14-nya saya masih sibuk bongkar-masukin baju ke tas. Siang setelah Dzuhur, ibuk saya dapet telepon dari Pakdhe yang katanya sodara dari Kendal mau dateng ke rumah. Oke. Finally, kami saling bertemu dan mereka pulang sekitar jam 4 sore. Saya lanjut packing, lalu ada tamu dateng lagi dan itu membuat saya mandi sore saat udah hampir Maghrib. Setelah shalat Maghrib, saya dan bapak makan malem dan --- datenglah tamu lagi. Padahal jam 8 saya musti berangkat loh. Saya pun masuk kamar, beberes barang-barang yang mau saya bawa sambil setengah cemberut. I was just so tired that day, don't know why. Mungkin agak panik juga, khawatir untuk perjalanan solo pertama saya. Jam 8, saya dan bapak berangkat ke Solo di mana saya menunggu bus yang akan membawa saya ke Malang. Dan ya, ini Indonesia kan ya? Jadwal di tiket jam 10 malem, tapi pada akhirnya bus baru nyampe di pool sekitar jam 11an. Mata udah merah pengen merem. Saya naik bus, nyari tempat duduk saya yang ternyata bersebelahan dengan seorang bapak-bapak. Saya melambaikan tangan ke arah Bapak yang masih nunggu di luar bus *bukan drama, emang gitu ceritanya*

Hal yang menyenangkan adalah, selama di bus, saya nggak bosen atau gimana. Itu bapak-bapak di samping saya orangnya ramah dan baik banget. Mulai dari nanya mau kemana dan ngapain, sampai cerita tentang keluarga. Iya, ternyata anak beliau satu-satunya itu perempuan dan seumuran saya. Dan beliau sedang dalam perjalanan pulang setelah mengantar anaknya ke Jakarta. Dan keJakarta buat apa? Buat berangkat ke Yaman. Yaman, salah satu negara di Timur Tengah bukan sih? Iya pokoknya, dia dapet full-scholarship gitu disana *kagum*. Saya hampir berkaca-kaca waktu beliau cerita, karena salah satu impian besar saya adalah bisa study-abroad. Dan bertemu dengan orang yang anaknya bisa meraih mimpi seperti yang saya impikan itu rasanya seperti digedor-gedor hati saya. Kayak ada yang teriakin saya, "Tuh, nop! Dia bisa nop! Masa kamu enggak?". Dan ya, Tuhan memang punya jalan yang unik ya untuk sekedar membangkitkan semangat makhlukNya. Hampir tengah malam, bus sudah mulai sunyi. Tidooor! Dini hari hampir Subuh, beliau turun di Blitar. Saya lupa nama daerahnya. Dan udara makin kerasa dingin. 

15 Agustus 2013

Sekitar jam 6 lebih, saya sampai di pool bus. Karena belum ngerti jalan dan angkot wilayah Malang, saya pun naik taksi untuk bisa sampai di kos. Selama perjalanan, saya menghubungi Bapak Kosan yang ternyata baru akan datang ke kos sekitar jam 8 pagi. Padahal you know what? Kuncinya masih ada di Bapak Kos. Duh. Tapi Tuhan memang baik banget. Nyampe kosan, saya langsug naik dan bertemulah saya dengan Mbak Ria dan adiknya, kami kenalan dan akhirnya saya nitipin tas di kamarnya Mbak Ria --- sementara itu saya mandi pagi dengan air yang dinginnya jangan ditanya. Usai mandi, saya nyari sarapan sama temennya Mbak Ria yang bernama Mbak Tanti. Ada cerita lucu dibalik pencarian sarapan ini.

Begini... ehm...
Karena waktu itu musim liburan, jadi sepanjang gang yang sebenernya hanya berisi kosan, warung makan dan warnet itu pun sepi. Hampir semua warung tutup. Bersyukur, satu warung deket kosan ada yang buka. FYI, saya baru pertama makan disitu ya. Dan...

Mb Tanti : "Buk, rujak satu ya...kamu apa dek?"
Saya       : "Mbak sarapan rujak?" (ekspresi muka kaget campur bingung)
Mb Tanti : "Iya, enak kok. Kamu mau?"

Setauku, rujak itu yang isinya buah dengan bumbu asam pedas dan kadang-kadang dikasih es krim. Ha? Sarapan begituan? Sakit perut menanti dong? Tapi karena Mb Tanti pesen itu, ya udah saya ikut karena pilihannya cuma ada itu, tahu-telor dan mie. Untuk tahu telor saya nggak tahu itu apa, dan untuk mie --- saya menghindari sarapan mie instan. Jadi --- ya udah, rujak!

Saya mendekati si Ibuk yang jualan...

Saya       : "Ini lontong Buk?"
Ibuk         : "Iyo..ini mau pake lontong apa nasi?"
Saya       : (bengong)
Mb Tanti : "Saya lontong Buk.."
Saya       : "Ha? Rujak dikasih lontong Mbak?" (masih dengan ekspresi bingung)
Ibuk         : "Mbak e apa? lontong apa nasi?"

Dengan refleks saya menjawab nasi karena biasa sarapan nasi. Tapi jujur waktu itu masih nggak kebayang rujak dicampur nasi. Yekkksss. Dan --- wallllaaaa...ternyata rujak itu semacam pecel gitu. Jadi ada sayuran, bakwan, dan cingur dengan siraman sambal yang mirip sama sambal pecel. Owalah, ini yang namanya rujak cingur! Sorry no picture.

Usai makan, Pak Kos dateng dan saya langsung mindahis tas dan bawaan saya ke kamar. Finally! Jam 9 pagi, saya berangkat ke GOR kampus untuk ngambil jas dan jaket almamater. Perasaan nggak enak. Udah agak siang, jadi mungkin antrean bakal panjang dan sampai sore. Tapi lagi-lagi, Tuhan memang super-baik. Di depan GOR saya ketemu sama Dina, temen dari Surabaya yang sefakultas sekaligus seprodi sama saya. Sayangnya kami cuma sempet ngobrol bentar karena dia lagi nunggu jemputan sementara saya harus antre. Kurang dari setengah jam, saya sudah masuk GOR. Dan proses di dalem cepet banget. Saya barengan sama anak Tek.Industri yang saya lupa namanya. Dia baik banget, nungguin saya keluar. Ternyata sampai luar dia udah dijemput kakaknya. Sendiri lagi lah saya pulang ke kosan dengan ingatan seadanya. Dan ya, saya lupa jalan pulang! Tapi syukurlah, nyampe juga di kosan sekitar jam 11. Capek sumpah! Malemnya tidur nggak pules (di bus), pagi langsung jalan sepanjang itu. 

Siangnya, saya berencana pesen tiket via telepon karena saya mau pulang keesokan harinya (tgl 16 Agustus). Dan FYI, dunia tiket musim lebaran memang kejam kawan-kawan!

Saya telepon bus A - untuk tgl 16 habis, adanya tanggal 17 - saya bilang, "sebentar ya mbak, nanti saya hubungi lagi."


Saya telepon Ibuk, ngasih tau kalo tiket adanya buat tgl 17(Sabtu), dan Ibuk bilang, "yowis, nggak pa-pa"

Saya telepon lagi bus A, dan, "Wah, barusan isi mbak. Adanya Senin, gimana?"

Senin? Tanggal 19? Gila! Saya bisa mati bosen di kosan. Akhirnya saya coba menghubungi bus B. Dan --- berhasil! Dapet dengan harga yang naik gila-gilaan. Dari 90rb jadi 175. Ah, dunia. 
Mas agen bus : "Mau diambil kapan mbak tiketnya."
Saya                : (bingung) "emmm, sore ini?"
Mas agen bus : "Ya, sebelum jam 7 malem ya mbak."

Masalahnya adalah, saya ke sana naik apa? Oke, selama ini, kalau dari pool bus saya naik taksi ke kosan dan itu membutuhkan uang sebesar 30ribu rupiah. Dan kalau saya kesana hanya untuk ngambil tiket dan pulang lagi dengan taksi, berarti saya harus ngeluarin duit 60 ribu. Gileeeh! Akhirnya --- keluarlah saya dari kosan. Nanya ibu-ibu warung depan kosan dan mereka nggak ngerti jalur angkot. Oke fix, saya desperate.

Saya terus berjalan melewati lorong. Iya, gang di kosan saya emang semacam lorong sempit gitu. Dan kosan saya terletak di ujung lorong. Saya menuju ke jalan dimana angkot-angkot lewat. Tapi sebelum sampai, saya dekati seorang bapak-bapak yang sedang beriri di depan sebuah warung.

Saya        : "Permisi Pak, mau tanya, angkot yang lewat Jalan Hamid Husada itu angkot apa ya   Pak?"
Bapak      : "Hamid Husodo? Nggak ada itu Hamid Husodo...adek mau kemana?"

Saya         : "Mau ke pool bus "B" pak..."
Bapak      : "Travel toh?"
Saya        : "Bukan Pak, bus..."
Bapak     : "Apa ada to ya? Kayaknya Jl,  Hamid Husada itu nggak ada ki dek..."

Karena ini 2013 dimana semua bisa didapat lewat gadget, saya coba browsing dan ternyata alamatnya bukan di jalan Hamid Husada, melainkan Jalan Hamid Rusdi. Yaelah. Pantesan si Bapak nggak tahu, orang salah nama jalan. Akhirnya, si Bapak menjelaskan...

"Nanti kamu dari sini naik AL, terus bilang aja turun di bundaran SMP 5. Nanti kamu nyebrang ke timur,  kira-kira 100 meter lah. Itu nanti jalan Hamid Rusdi." 

Meungkin melihat wajah saya yang masih terlihat bingung, si Bapak berinisiatif menggambarkan saya sebuah denah...





Setelah itu beliau mengantarkan saya ke ujung gang (tempat nunggu angkot), dan Bapak itu nungguin saya sampai dapet angkot. Waktu saya bilang makasih dan minta maaf sudah ngerepotin, si Bapak bilang...

"Nggak pa-pa, saya juga punya anak perempuan mbak. Mbak catet nomer HP saya ya! Nanti kalau bingung langsung telepon saya saja, biar nanti  saya pandu sama anak saya." 

Belum sempat mencatat nomer teleponnya sampai selesai, angkot AL lewat dan saya pun naik. Beliau bilang ke sopirnya...
"Adeknya ini turun bunderan SMP 5 yo...!"

Subhanallah, Tuhan Maha Baik. Dalam keadaan bagaimanapun, Dia akan selalu memberikan kemudahan lewat orang-orang berhati mulia seperti Bapak tadi. Coba kalau nggak ada Bapak tadi, mungkin saya sudah ngabisin 60.000 PP. Padahal dengan angkot, saya cuma perlu sepersepuluhnya saja : 6000 rupiah! 

Turun dari angkot, saya jalan ke arah timur --- masih dengan denah di tangan saya. Kalau nggak nemu plang yng bertuliskan "Jl. Bengawan Solo", mungkin saya bakalan salah belok ke jalan itu tadi. Dan masalah belum berakhir rupanya. Masalah terbesar yang saya hadapi itu sebenernya sangat simpel. Iye, ngebrang jalan. Saya emang dasarnya adalah orang yang takut nyebrang jalan. Tapi kalo di kota kecil kayak Boyolali--- bisa lah. Lah kalo di Malang? Buat saya susah sih. Mungkin karena belum terbiasa aja. Sampe-sampe saya nebeng nyebrang sama ibu-ibu yang juga mau nyebrang. Duh! Tapi akhirnya, tiket pulang berhasil saya kantongi juga.



--balik kosan--

Malemnya, kebingungan nyari makan. Akhirnya nemu mas-mas nasi goreng di ujung gang.

Jumat, 16 Agustus  2013


Bangun pagi, mandi dan nyari sarapan. Dan lagi-lagi, saya masih harus makan di tempat yang kemarin karena hampir semua warung di sepanjang gang tutup. Oke, karena saya sudah bosen makan yang namanya rujak cingur selama seharian kemarin, akhirnya saya mencoba satu-satunya menu yang tersedia selain rujak dan mie instan : tahu telor. Dalam bayangan saya, tahu-telor mungkin akan terlihat seperti gado-gado. Tapi, beginilah bentuknya...



(Isinya lontong - telur dadar dengan isi tahu - sambal - taoge - krupuk)

Porsi tahu telor ini gede banget ya buat saya. Jadi bisa nahan laper sampe sore. Seriusan.

Di kos, saya dikasih Bapak Kos satu makanan yang belum pernah saya temui sebelumnya...

(Kayaknya dari ketan sih --- semacam lemper dengan taburan kacang)
Karena makan  itu tadi, saya nggak makan sampai sore karena itu camilan ternyata bikin kenyang banget.

Sorenya, pulang! 
Karena bawa barang bawaan banyak, saya nggak mungkin naik angkot dan musti jalan ratusan meter berbonus nyebrang  sampai di pool bus. Akhirnya saya naik taksi lagi. 30 ribu. Nggak-pa-pa lah, traveler abal-abal --- masih banyak belajar. 

Ada kejadian lucu sekaligus memalukan di pool bus. Duh. Saya memang selalu naik bus dari pool-nya kalau dari Solo. Tapi kalau dari Malang, ini kali pertama. Jadi, waktu saya masih duduk di deretan kursi tunggu penumpang, lewatlah bus dengan nomor 355, dan itu adalah bus saya! Saya sudah berdiri, bersiap-siap. Eh, itu bus malah jalan. Dan dengan paniknya saya berjalan cepat ke arah jalan raya --- berniat mengejar bus karena saya pikir itu bus nggak tahu kalau ada yang mau naik. Eh ternyata --- itu bus jalan ke timur beberapa meter untuk ngambil ancang-ancang masuk ke halaman pool. Saya pun kembali duduk di kursi tunggu. Sementara beberapa pasang mata yang juga calon penumpang tengah duduk manis nan santai sambil memerhatikan saya. Mungkin mereka nahan ketawa. Duh sumpah, malu! Tapi bodo amatlah! Nanti juga nggak ketemu lagi yakan? Kalaupun ketemu itu paling karyawannya bus yang kerja di pool itu, dan semoga sudah lupa sama muka saya. 

--- Naik bus---

Dapet tempat duduk di barisan nomer 2 deket jendela. Dan tanpa teman duduk. Barulah ketika sampai di daerah Kepanjen (atau mana gitu ya --- lupa), bangku di sebelah saya terisi juga. Well, sepanjang perjalanan agak kurang asik ya karena migren menyerang. Tapi akhirnya sampai di Terminal Boyolali jam 2 pagi. Dan ---- pulang ke rumah *peluk kasur*

Begitulah cerita traveler abal-abal ini.
Semoga suatu hari nanti impian terpendam untuk jadi traveler yang bener-bener traveler bisa terwujud. Amin. Bantuin amin-in dong....
Anyway, dua hari lagi saya mau pindahan ke Malang. Yap, kuliah! Kok cepet banget ya? And --- life starts here! #sekalian iklan nutri*lon

Salam Traveler Abal-abal.
Bye.




Senin, 12 Agustus 2013

Cerita Dari Dalam Kamar #12. Walkie Talkie

#CeritaDariKamar Day12

Ciee #CeritaDariKamar, proyeknya kak Bara udah nyampe di hari ke-12. Dan masih, saya berharap semoga bisa menuntaskan tantangan ini sampai hari ke-31 nanti. Dan nggak lupa, mengharap keberuntungan --- biar paling nggak salah satu cerita saya terpilih untuk dibacakan onair. Tapi, bener juga kata kak Bara, kalau proyek nulis #CeritaDariKamar ini lebih untuk kepuasan batin diri sendiri. Dan saya setuju. Jadi kalau dalam sehari belum nulis satu #CeritaDariKamar itu rasanya masih punya hutang yang bikin hati ngganjel.

*Back to the topic*
Tema #CeritaDariKamar saya hari ini nggak jauh-jauh amat dari cerita saya kemarin yang berjudul "Inget BRICK GAME?". Iya, bener banget. Cerita saya ini masih akan membahas tentang satu mainan masa kecil yang masih tersimpan rapi sampai di hari ini.





Walkie talkie, itu mainannya. Kata bapak, dulu pas masih kecil --- tepatnya TK, saya pernah nonton film entah apa. Dan dalam film itu, ada orang berkomunikasi pakai walkie talkie beneran. Dan saya pengen. Tapi, nyari-nyari nggak ketemu. Sampai akhirnya, di suatu hari yang diberkahi Allah, akhirnya nemu juga walkie talkie ini di toko. Awalnya nggak boleh beli, tapi ujung-unjungnya,saya keluarkan senjata pamungkas. Iya, nangis sekeras-kerasnya sampai yang punya toko risih. Akhirnya, ini walkie talkie berhasil kebawa pulang juga. Hehehee...

Kalau main walkie talkie ini biasanya sama satu-satunya kakak saya. salah satu dari kami akan berada di belakang rumah, sementara yang satu lagi di depan rumah. And it works! Biasanya, kami main polisi-polisian gitu. Ceritanya lagi nggerebek atau ngejar penjahat gitu. Duh! Kangen deh main kayak gitu lagi.

Sayangnya, walkie talkie ini udah rusak. Jadi sekalipun baterai sudah diganti, mainan ini sudah tidak berfungsi lagi seperti sedia kala, sehingga yang akan terdengar hanyalah bunyi kemresek.

Sama halnya dengan brick game kemarin, mainan ini sempet diminta sama sepupu. Tapi lagi-lagi, saya nggak kasih izin karena --- ya, tahu kan, kenangannya banyak.
Begitulah, kisah bersejarah antara saya dan walkie talkie ini. Jadi pengen kembali ke masa kecil barang cuma sehari :)


Salam dari mantan polisi-polisian.
Bye.

Minggu, 11 Agustus 2013

Cerita Dari Dalam Kamar #11. Inget BRICK GAME?

Selamat malam bloggers yang berbahagia,
Seperti biasa, kali ini saya mau setor #CeritaDariKamar buat proyeknya kak Bara, dan yang mau saya bahas kali ini adalah sebuah permainan jadul yang saya nggak tahu pasti namanya apa. Tapi yang jelas, "BRICK GAME 9999 in 1" adalah tulisan yang terbaca di mainan itu. Inget? Pernah punya? Yang kayak gini nih...



 


Saya juga nggak tahu kenapa saya suka nyimpen mainan-mainan masa kecil. Kalau ngelihat itu mainan terus keinget masa kecil itu rasanya --- emm. Saya yakin, kalian juga pasti pernah merasakan era populernya permainan ini. 

Saya masih inget banget, mainan ini saya beli waktu lagi jalan-jalan sama keluarga besar di kebun binatang --- lupa kebun binatang yang dimana. Kalau nggak Jogja ya Solo, tapi kayaknya Jogja sih. Dan saat itu saya masih TK. Jadi, di sepanjang jalan gitu, banyak yang jualan mainan. Dan karena saudara-saudara saya pada beli, saya juga ikutan beli. Padahal sebenernya di rumah udah ada "BRICK GAME" yang lebih unyu. Iya, unyu. Bentuknya hello kitty, warnanya biru. Bayangin deh, unyu banget kan? Sebuah brick game yang sepertinya tercipta untuk gadis kecil yang juga unyu-unyu gitu *kemudian ditoyor*. Tapi sayangnya udah rusak. Itulah sebabnya saya beli lagi yang warna hijau ini, dengan bentuk yang standar. 

Sayang banget ya, nggak ada foto brick game yang bentuk hello kitty *nangis*. Tapi setelah googling, ya kira-kira seperti ini bentuknya....

 (Cuma, punya saya warnanya biru.. Imut kan? Kayak saya?)


Dan entah sekarang udah dimana. Ngomong-ngomong, proses rusaknya agak tragis juga loh. Jadi waktu itu,  saya dan kakak saya (saya belum sekolah --- dan kakak saya lebih tua 7 tahun dari saya) bertengkar layaknya dua kakak beradik. Jambak-jambakan, cubit-cubitan, ya gitu deh. Tapi kemudian, semua berakhir dengan tangisan saya yang panjang waktu kakak saya ngelempar brick game hello kitty saya itu ke arah pintu, sampe bagian kepala dan badannya hampir copot *nangis lagi*. Duh, andai waktu itu ngak bertengkar, mungkin si hello kitty masih saya simpen. Ngomongin game jaman dulu jadi keinget tamagochi telur warna biru saya yang jga sudah raib. Ya tinggal brick game hijau ini kayaknya yang masih kesimpen sampai sekarang. Jangan ngilang ya, nak!

*Back to the green brick game*
Sampai sekarang, brick game saya ini masih bisa dimainin loh. Cuma baterainya aja yang musti diganti. Bahkan sepupu saya yang sekarang masih SD suka mainin ini. Padahal ini dari jaman saya TK. Waktu itu sempet diminta sepupu saya itu sih, intinya dia mau ambil alih kepemilikan brick game ini. Tapi nggak saya kasih izin. Bukannya jahat, pelit atau gimana. Bukan soal uang atau apa. Tapi ini sejarah. Boleh pinjem, tapi balikin ya, karena banyak kenangan di dalamnya....


Salam dari Mainan Jadul.
Bye.