Selasa, 25 Februari 2014

[Mozaik Blog Competition] Menulis Untuk Sembuh


Event Mozaik Blog Competition sponsored by beon.co.id. Pada kalimat Mozaik Blog Competition beri url lomba ini dan pada kata beon.co.id sertakan url web: beon.co.id


Haloh semuah,
Kali ini, tulisan saya akan sedikit berbeda dari tulisan-tulisan saya sebelumnya. Karena tulisan ini, adalah tulisan yang saya ikutsertakan dalam Event Mozaik Blog Competition sponsored by beon.co.id. Sejujurnya, ini adalah kali pertama saya mengikuti lomba blog semacam ini. Namun terlepas dari itu semua, tulisan ini saya tulis untuk berbagi tentang apa yang saya rasa, saya pahami dan saya alami tentang dunia kepenulisan itu sendiri. Well, saya rasa banyak dari kalian yang secara tidak sengaja nyasar ke blog ini adalah orang-orang yang punya passion di dunia kepenulisan juga. Kalaupun tidak, setidaknya suka membaca, kan?

Menulis. Bagi saya, menulis itu tidak sekadar menyusun satu kata dengan kata yang lainnya, merangkainya menjadi kalimat-kalimat yang bermakna. Meskipun pada dasarnya memang demikian, namun bagi saya, menulis berarti lebih dari sekadar merangkai kata. Menulis itu obat. Menulis itu menyembuhkan. Bagi sebagian orang mungkin akan mengerti dengan apa yang saya maksud. Kalaupun tidak, silahkan dicoba. Menulislah disaat kamu ingin menulis. Menulislah apapun yang ingin kamu tulis. Jangan memaksakan dirimu untuk menulis apa yang tidak ingin kamu tulis. Singkatnya, menulislah dari hati. Dengan begitu, apa yang saya katakan tentang menulis, bahwa menulis itu menyembuhkan, akan kalian mengerti dengan sendirinya.

Kecintaan saya dalam dunia menulis dimulai saat saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Bukan, saya tidak jatuh cinta pada dunia kepenulisan karena novel-novel sastra pada saat itu. Bagaimanalah saya jatuh cinta dari novel-novel semacam itu. Bahkan usia saya saat itu mungkin belum mengerti rangkaian-rangkaian kata yang tercetak di dalamnya. Cerita bergambar. Ya, ini semua hanya berawal dari beberapa cerita bergambar yang saya temukan pada beberapa halaman majalah anak-anak. Saya beruntung, sejak kecil, Ibu saya membiasakan anak-anaknya untuk cinta membaca. Jadi hampir setiap minggu, Ibu akan membawakan sebuah majalah anak-anak yang fenomenal itu. Bahkan kelihatannya, majalah itu masih terbit hingga sekarang. Salut!

Dari yang awalnya hanya tertarik dengan gambar-gambarnya saja, saya mulai membaca ceritanya dan mengikuti serinya. Begitu seterusnya. Semakin bertambah usia saya, dengan kemampuan membaca dan pemahaman yang tentu saja juga bertambah, saya akhirnya ketagihan membaca cerita pendek. Dan itu berlanjut hingga remaja bahkan hingga sekarang. Sampai majalah saya bukan lagi majalah anak-anak, tetapi majalah remaja, bahkan, beberapa waktu yang lalu, saya mulai ketagihan membaca majalah sastra. Benar, kata-kata itu memang candu. Dan saya tidak bisa berhenti.

Saya masih ingat, ketika masih SD, saya punya sebuah buku tulis yang saya khususkan untuk cerita-cerita pendek saya (tulisan saya). Cerita pendek saya jaman SD : benar-benar pendek. Mungkin dalam satu cerita, hanya terdiri dari lima alinea. Well, sewaktu kecil, kita memang sering menerjemahkan segala sesuatunya secara harfiah, kan? Jadi, cerita pendek sewaktu itu ya saya buat sependek mungkin supaya ia bisa benar-benar bisa disebut sebagai cerita pendek. Duh.

Menginjak SMP, saya mulai menulis cerpen yang sebenarnya. Karena pada saat itu, saya sudah mendapat materi tentang cerpen di pelajaran Bahasa Indonesia. Saya ingat, guru Bahasa Indonesia saya pernah bilang kepada kami, saya dan teman-teman, untuk mencoba menulis cerpen dan mengirimkannya ke majalah atau surat kabar. Honornya lumayan, kata beliau. Saya merasa tertantang. Dimulailah penulisan cerpen yang sesungguhnya. Dan, penolakan demi penolakan saya dapatkan. Sebenarnya tak pernah ada penolakan, hanya saja karya saya tidak pernah diterima atau dipublikasikan.
           
Waktu berselang, saya tumbuh dan mulai mengenal banyak hal baru. Hobi-hobi baru. Membuat saya sedikit lupa dengan apa itu menulis. Sampai pada satu hari, sesuatu yang bisa dikatakan buruk terjadi pada saya. Saat itu, saya benar-benar merasa tengah jatuh. Benar-benar di bawah. Saya mengecewakan banyak orang yang sudah berkorban banyak untuk saya. Disaat-saat seperti itu, entah kenapa, yang ingin saya lakukan hanyalah menulis. Tiap kali menulis, rasanya beban terangkat sedikit demi sedikit. The power of writing, mungkin? Itulah sebabnya saya katakan bahwa menulis itu menyembuhkan.

Disaat saya sedang getol-getolnya menulis, saya tertarik pada satu rubrik di salah satau koran lokal saat itu. Biasanya, saya menulis fiksi. Sejujurnya, fiksi gagal, karena semuanya tidak pernah dimuat di majalah atau koran manapun. Tapi kali itu, entah mengapa saya mencoba menulis opini. Jadi, dalam satu koran lokal saat itu, terdapat tema tiap minggunya. Nah, berdasarkan tema itu, pembaca boleh mengirimkan opininya. Dan yang beruntung, tentu saja, opininya akan dimuat dengan bonus berupa sejumlah uang. Seminggu kemudian, saya dapati tulisan saya yang hanya terdiri dari tiga paragraf itu terpampang pada salah satu halaman koran lokal. Rasanya saya ingin teriak saat itu. Akhirnya! Untuk pertama kalinya tulisan saya dimuat. Meskipun hanya sebuah opini sepanjang tiga paragraf, setidaknya, ini awal yang baik, pikir saya saat itu. Saya pun mendapat bonus alias honor sebesar lima uluh ribu rupiah. Lumayan lah untuk saya yang masih SMA saat itu. Saya selalu menyebut honor menulis sebagai bonus. Kenapa ya? Karena saya rasa, apresiasi tertinggi dari sebuah tulisan itu terletak pada seberapa banyak tulisan itu dibaca, dinikmati dan memberikan pengaruh terhadap pembacanya. Mendapatkan karya kita berada pada salah satu halaman media cetak, merupakan hal membahagiakan yang tidak bisa diukur dengan nominal uang. Meskipun pada akhirnya, setiap orang juga membutuhkan uang. Sejak hari itu, saya yang sempat berhenti menulis karena merasa tulisan saya tidak pernah layak muat ini kembali berkutat lagi dengan dunia tulis-menulis.

Tentang fiksi, saya masih punya mimpi untuk bisa menjadi penulis fiksi. Entahlah, ada banyak hal berada di kepala ini. Saya sering menemukan tokoh-tokoh imajinatif di kepala saya, dengan alur hidup mereka yang saya ciptakan sendiri. Kalau mereka sedang memenuhi pikiran rasanya ingin segera menuangkannya dalam tulisan. Sebenarnya, kalau mau jeli, setiap orang pasti punya genre favorit untuk dibaca. Dan biasanya, genre bacaan favorit akan mempengaruhi genre tulisan kita juga. Meskipun kadang, tidak semuanya seperti itu. Saya sendiri, tidak pernah menyadari hal ini sampai suatu hari saya mengingat-ingat apa saja yang sudah say abaca, mana yang saya suka dan mana yang tidak. Dari situ, saya menemukan bahwa saya tipe pembaca yang menyenangi cerita berbau traveling. Baik fiksi, maupun non-fiksi. Contohnya saja salah satu novel dari Ahmad Fuadi, dari trilogi Negeri Lima Menara-nya, yakni Rantau 1 Muara. Disana tergambar kehidupan penulis ketika tengah menjalani kehidupan di belahan dunia yang lain. Lalu novel 99 Cahaya di Langit Eropa, juga Edendor milik Andrea Hirata. Dan tentu saja, The Naked Traveler-nya mbak Trinity. Cerita-cerita tentang perjalanan, apalagi perjalanan diluar Indonesia selalu membuat saya semangat membaca. Jujur saja, untuk membaca buku/novel yang berbau traveling, saya membutuhkan aktu yang lebih singkat dari novel lain pada umumnya, hal ini ikarenakan saya haus akan hal-hal yang belum saya ketahui, apa yang ada di belahan dunia lain, hal-hal yang tak pernah terpikir oleh saya, hal-hal yang tak pernah saya jumpai. Dan itu membuat saya sulit untuk berhenti membaca, penasaran akan kisah pada lembar-lembar berikutnya. Disamping novel-novel yang berbau traveling, saya juga menyenangi novel-novel yang para remaja senangi pada umumnya. Saya membaca Refrain, Perahu Kertas, Cerita Hati, bahkan saya juga membaca novel-novel komedi seperti Idol Gagal, Satu Per Tiga atau Tulang Rusuk Susu. Tapi dari kesemua novel remaja yang selama ini pernah saya baca, sama halnya dengan teman-teman lain, pasti selalu ada satu novel yang ‘lebih’ dari yang lain. Mungkin bisa karena novel itu paling disenangi, atau karena penulisnya adalah penulis kesukaan atau alasan lain yang membuat novel itu ‘lebih’ dimata kita. Namun bagi saya, alasan itu adalah seberapa ‘personal’nya novel itu bagi saya. Jujur, novel yang paling saya kagumi hingga saat ini adalah Perahu Kertas karya Dewi Lestari. Bukan semata-mata karena kepopulerannya dan kesuksesannya hingga novel ini telah diangkat menjadi sebah film. Tapi, seperti yang sudah saya ungkapkan, bahwa alasan saya adalah seberapa ‘personal’ novel itu untuk saya. Ya, Perahu Kertas ini sangat personal buat saya. Ini sulit dijelaskan. Yang pasti, setiap kali embaca novel ini, saya benar-benar ada di dalamnya. Saking personalnya buat saya, saya juga tidak ingin melewatkan dua film-nya, yang kemudian menjadi dua film favorit saya juga karena sangat personal juga buat saya. Entahlah, saya benar-benar ada didalamnya.

Yang jelas, fiksi yang telah menarik tangan saya ke dalam dunia ini, tulis-menulis. Membuat saya seperti terjerembab ke dalamnya, lalu kemudian tersenyum karena menikmati tiap prosesnya. Apapun, yang dilakukan dari hati, akan membawa kebahagiaan. Tentang berhasil atau tidaknya, itu hanya soal waktu, saya rasa. Toh Thomas Alfa Edison butuh berkali-kali percobaan untuk bisa menemukan bola lampu yang diharapkan. Jadi, sekadar ditolak oleh media cetak tau pun penerbit, mestinya tidak membuat kita berhenti menulis. Jadi teman-teman, selamat menulis!




2 komentar:

  1. Wah, bagus punya passion dalam menulis :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waaa.. seneng banget dikomen sama penulis terkenal :D
      Pengen banget bisa nyusul suksesnya Mbak Indi :')

      Hapus