Selasa, 14 Januari 2014

Aku, Beliau dan The Way Home

Selamat siang. Akhirnya nulis juga setelah sekan lama. Ya Tuhan, betapa jemariku merindukan keyboard ini. Haha

Well, judul yang --- aneh? Aku, Beliau dan The Way Home.
Sebenarnya, saya sedang tak ada bahan untuk ditulis. Lama nggak menulis, bukan cuma jari-jari tangan saja yang kagok. Tapi otak juga sama kagetnya. Ide nggak datang-datang. Bikin bosen.

Bosen. Sama seperti kemarin, ketika saya hanya berdiam diri di kosan tanpa kerjaan. Emm, ada lah beberapa hal yang seharusnya dikerjakan. Tapi karena mood sedang tidak baik, pada akhirnya saya hanya berdiam diri dan --- nonton film. Saya dapat film ini dari salah seorang teman saya yang beberapa waktu lalu sempat main ke kosan saya. Judulnya The Way Home.

Awalnya, saya nggak begitu tertarik dengan film-nya. Tapi setelah saya lihat, film ini layak kok ditonton. Layak banget. Mungkin kalian nggak akan menemukan adegan sedramatis sinetron Indonesia, adegan romantis sepasang remaja, atau begitulah. Tapi disini, kalian akan menemukan arti sebuah ketulusan. Ini apasih bahasanya sok banget :|

This movie reminds me of someone, somehow.
Saya nggak tahu ya apa reaksi kalian ketika nanti menonton film ini? Bisa jadi ketawa karena ada beberapa bagian yang konyol. Bisa jadi tertidur karena mungkin menurut kalian jalan ceritanya membosankan. Atau bisa jadi berkali-kali menahan air mata seperti saya, karena ...

Karena kenangan.

Jadi, film ini bercerita tentang seorang anak laki-laki (masih kecil) bersama ibunya yang pergi mengunjungi neneknya (ibu dari ibu anak laki-laki tadi) di desa. Desanya sih bukan yang terpencil gitu ya. Tapi jauh dari pusat kota. Ya begitulah. Settingnya mungkin di Korea, karena ini memang film Korea. Anak dan ibunya ini datangnya dari Seoul. Nah, si anak ini untuk beberapa hari dititipin ke neneknya karena ibunya ada urusan yang tidak bisa ditinggalkan.

Sang nenek sudah sangat tua. Dia tidak bisa bicara sehingga selalu menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi. Punggungnya sudah sangat bungkuk. Sementara cucunya, si anak laki-laki tadi, yang terbiasa hidup enak di kota, ketus sekali sama neneknya ini. Sikapnya kasar dan kurang bisa menghargai orang lain (baca : neneknya).

Inti ceritanya sih memang sesederhana itu. Tapi, kalau kita ikuti film-nya sampai habis, kita akan menemukan arti "tulus" yang sebenarnya. Banyak adegan-adegan menyentuh dimana si cucu selalu saja bersikap tidak baik, tapi sang nenek selalu menjaganya, menyayanginya. Agak miris juga sih ngelihat film ini, kenapa anak-cucunya tinggal enak di kota, sementara sang orang tua hidup sebatang-kara di tengah kemiskinan.

Ada adegan dimana sang nenek menjual buah hasil panennya ke pasar bersama si cucu. Hasil penjualannya, dibelikannya makanan untuk si cucu. Saat si cucu tengah makan dengan lahapnya, sang nenek hanya memesan segelas minuman.
Bukan cuma itu aja sih, masih banyak lagi bagian-bagian lain yang memaksa air mata saya jatuh. Tak mau kalah, air dari hidung juga turut meluncur (baca : ingusan). Duh.

Lalu, kenapa  'Aku, Beliau dan The Way Home'?
Aku itu saya. The Way Home adalah judul film yang sedari tadi saya kisahkan. Lalu beliau?
Beliau adalah seseorang yang begitu besar jasanya di hidup saya. Duh, ini mata saya mulai berkaca-kaca lagi *nggak bohong*

Ya, beliau adalah nenek saya. Bukan ibu dari ayah atau ibu saya. Kami tidak ada ikatan darah. Tapi saya menyebutnya nenek. Beliau adalah orang yang merawat saya sejak kecil. Dulu, sewaktu kecil, saat ayah dan ibu tidak bisa selalu menemani saya karena harus bekerja, beliau yang menjaga dan merawat saya. Kalau melihat tingkah Sang Woo (nama anak laki-laki di film itu) yang konyol dan nakal, saya jadi teringat masa kecil saya. Saya begitu nakal. Suka minta yang aneh-aneh. Kalau nggak diturutin nangis. Dan beliau masih dengan sabar merawat saya.

Pernah, dulu, sewaktu kecil, saya minta diajak ke pasar tapi harus digendong dan harus jalan (tak boleh naik kendaraan). Padahal jarak rumah embah (baca : nenek) saya tadi jauh dari pasar. Tapi tetap beliau turuti. *FYI, saya sudah benar-benar mengangis saat ini*

Saya juga ingat, dulu, sewaktu embah sedang mencuci pakaian di kali (baca : sungai) dan saya bermain-main menangkap ikan-ikan kecil, ada seorang teman kecil saya yang memang terkenal nakal dan waktu itu menjahili saya. Saya berteriak minta tolong. Lalu beliau (nenek) datang memarahi teman saya tadi sambil memberinya pelajaran (mengayun-ayunkannya di air hingga gelagapan). Dan akhirnya dia jera karena setelah itu dia tak pernah menjahili saya lagi. Malahan beberapa tahun setelahnya kami ada di kelas yang sama di salah satu Sekolah Dasar. Haha.

Beliau bukan orang yang kaya harta. Beliau orang yang sederhana. Tapi dalam kesederhanannya, saya bisa melihat hatinya yang begitu kaya. Kalau dipikir-pikir, mana ada orang yang mau merawat anak nakal seperti saya yang bahkan tidak memiliki darahnya dengan sangat sabar kalau bukan orang yang benar-benar tulus?

Tahun kedua di Taman Kanak-kanak.
Beliau mulai sakit-sakitan. Saya tidak lagi pulang ke rumah beliau seusai sekolah. Saya pulang ke rumah ayah-ibu. Sendiri. Iya, sejak saat itu sepulang sekolah saya di rumah sendiri. Duh, kasian.

Karena keadaan semakin memburuk dan beliau tinggal sendirian di rumahnya, akhirnya almarhum Pakdhe (kakaknya ayah saya) membawanya ke rumahnya untuk dirawat di sana. Almarhum Pakdhe saya ini sudah dianggapnya seperti anaknya sendiri karena memang beliau tidak punya anak. Dulu, sebelum saya, beliau (nenek) juga lah yang merawat kakak sepupu (anak dari almarhum Pakdhe) saya dan kakak saya.

Kelas 2 SMP.
Saya masih ingat, waktu itu saya tengah mengikuti pelajaran Bahasa Jawa. Lalu, salah seorang guru BP saya masuk ke kelas dan memanggil nama saya. Waktu saya keluar hendak menemuinya, saya malah disuruh membereskan buku-buku dan membawa serta tas saya keluar. Bingung. Tentu saja saya bingung.

Sampai di koridor depan ruang BP, saya dapati kakak saya dan kakak sepupu saya tengah duduk menunggu saya. Bingung. Saya semakin bingung. Tapi percaya atau tidak, setelah saya melihat ada kakak saya menjemput, saya tahu tengah terjadi sesuatu dengan beliau karena pada saat itu memang keadaan beliau sudah sangat lemah.  Dalam perjalanan, barulah saya diberi tahu kalau beliau (nenek) meninggal. Saya tidak menangis. Sama sekali. Bukannya tidak sedih. Terkadang, kesedihan yang teramat dalam justru membuat air mata membeku.

Sampai rumah pun, disaat sudah banyak orang-orang datang untuk takziah, airmata saya belum keluar. Saya lalu masuk kamar, menanggalkan seragam sekolah dan berganti baju. Disaat itulah saya menangis. Di balik pintu. Air mata saya jatuh deras, tanpa suara.

Hari-hari berlalu. Mungkin sudah sekitar enam tahun. Selama enam tahun ini, bahkan sampai sekarang, saya masih sering menangis kalau teringat akan beliau. Kadang, ketika sedang berjalan dan secara tidak sengaja berpapasan dengan nenek-nenek, saya tiba-tiba teringat beliau.

Pernah, waktu sedang berada di studio Gambar Arsitektur beberapa waktu yang lalu, penyakit maag saya kambuh. Lalu saya dan teman saya  pergi keluar untuk mencari obat dan air mineral. Di depan kampus, kami singgah di salah satu warung. Dan, penjaga warung tersebut adalah seorang nenek yang entah mengapa terlihat mirip sekali dengan beliau. Serius. Mirip.

Sampai sekarang, kalau sedang lewat depan kampus, saya selalu menoleh ke arah warung itu, siapa tahu saya bisa melihat nenek-nenek penjaga toko. Siapa tahu rindu saya terobati.

Dan kemarin, setelah menonton The Way Home, lagi-lagi saya diserang rindu yang amat sangat.
Beliau orang yang begitu besar jasanya di keluarga saya. Tanpa beliau, siapa yang merawat saya dan kakak saya?

Tuhan, jagalah beliau. 
Tempatkanlah beliau di tempat yang paling baik, yang paling dekat denganMu.
Berikanlah selalu kebaikan-kebaikan kepada beliau.
Sebagaimana kebaikan-kebaikannya dulu  selalu tercurah untukku.
Jangan lupa, selalu katakan padanya bahwa aku merindukannya.
Oh, dan satu lagi --- bila nanti tiba saatnya aku pulang kesana,
ijinkan aku untuk ada di dekatnya. Merasakan lagi dekapannya.
Amin.



Malang, 2014







Tidak ada komentar:

Posting Komentar