Event Mozaik Blog Competition sponsored by beon.co.id. Pada kalimat Mozaik Blog Competition beri url lomba ini dan pada kata beon.co.id sertakan url web: beon.co.id
Haloh
semuah,
Kali
ini, tulisan saya akan sedikit berbeda dari tulisan-tulisan saya sebelumnya.
Karena tulisan ini, adalah tulisan yang saya ikutsertakan dalam Event Mozaik
Blog Competition sponsored by beon.co.id. Sejujurnya, ini adalah kali pertama
saya mengikuti lomba blog semacam ini. Namun terlepas dari itu semua, tulisan
ini saya tulis untuk berbagi tentang apa yang saya rasa, saya pahami dan saya
alami tentang dunia kepenulisan itu sendiri. Well, saya rasa banyak dari kalian yang secara tidak sengaja nyasar
ke blog ini adalah orang-orang yang punya passion
di dunia kepenulisan juga. Kalaupun tidak, setidaknya suka membaca, kan?
Menulis.
Bagi saya, menulis itu tidak sekadar menyusun satu kata dengan kata yang
lainnya, merangkainya menjadi kalimat-kalimat yang bermakna. Meskipun pada
dasarnya memang demikian, namun bagi saya, menulis berarti lebih dari sekadar
merangkai kata. Menulis itu obat. Menulis itu menyembuhkan. Bagi sebagian orang
mungkin akan mengerti dengan apa yang saya maksud. Kalaupun tidak, silahkan
dicoba. Menulislah disaat kamu ingin menulis. Menulislah apapun yang ingin kamu
tulis. Jangan memaksakan dirimu untuk menulis apa yang tidak ingin kamu tulis.
Singkatnya, menulislah dari hati. Dengan begitu, apa yang saya katakan tentang
menulis, bahwa menulis itu menyembuhkan, akan kalian mengerti dengan
sendirinya.
Kecintaan
saya dalam dunia menulis dimulai saat saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
Bukan, saya tidak jatuh cinta pada dunia kepenulisan karena novel-novel sastra
pada saat itu. Bagaimanalah saya jatuh cinta dari novel-novel semacam itu.
Bahkan usia saya saat itu mungkin belum mengerti rangkaian-rangkaian kata yang
tercetak di dalamnya. Cerita bergambar. Ya, ini semua hanya berawal dari
beberapa cerita bergambar yang saya temukan pada beberapa halaman majalah
anak-anak. Saya beruntung, sejak kecil, Ibu saya membiasakan anak-anaknya untuk
cinta membaca. Jadi hampir setiap minggu, Ibu akan membawakan sebuah majalah
anak-anak yang fenomenal itu. Bahkan kelihatannya, majalah itu masih terbit
hingga sekarang. Salut!
Dari
yang awalnya hanya tertarik dengan gambar-gambarnya saja, saya mulai membaca
ceritanya dan mengikuti serinya. Begitu seterusnya. Semakin bertambah usia
saya, dengan kemampuan membaca dan pemahaman yang tentu saja juga bertambah, saya
akhirnya ketagihan membaca cerita pendek. Dan itu berlanjut hingga remaja
bahkan hingga sekarang. Sampai majalah saya bukan lagi majalah anak-anak,
tetapi majalah remaja, bahkan, beberapa waktu yang lalu, saya mulai ketagihan
membaca majalah sastra. Benar, kata-kata itu memang candu. Dan saya tidak bisa
berhenti.
Saya
masih ingat, ketika masih SD, saya punya sebuah buku tulis yang saya khususkan
untuk cerita-cerita pendek saya (tulisan saya). Cerita pendek saya jaman SD :
benar-benar pendek. Mungkin dalam satu cerita, hanya terdiri dari lima alinea. Well, sewaktu kecil, kita memang sering
menerjemahkan segala sesuatunya secara harfiah, kan? Jadi, cerita pendek sewaktu
itu ya saya buat sependek mungkin supaya ia bisa benar-benar bisa disebut
sebagai cerita pendek. Duh.
Menginjak
SMP, saya mulai menulis cerpen yang sebenarnya. Karena pada saat itu, saya
sudah mendapat materi tentang cerpen di pelajaran Bahasa Indonesia. Saya ingat,
guru Bahasa Indonesia saya pernah bilang kepada kami, saya dan teman-teman,
untuk mencoba menulis cerpen dan mengirimkannya ke majalah atau surat kabar.
Honornya lumayan, kata beliau. Saya merasa tertantang. Dimulailah penulisan
cerpen yang sesungguhnya. Dan, penolakan demi penolakan saya dapatkan.
Sebenarnya tak pernah ada penolakan, hanya saja karya saya tidak pernah
diterima atau dipublikasikan.
Waktu
berselang, saya tumbuh dan mulai mengenal banyak hal baru. Hobi-hobi baru.
Membuat saya sedikit lupa dengan apa itu menulis. Sampai pada satu hari, sesuatu
yang bisa dikatakan buruk terjadi pada saya. Saat itu, saya benar-benar merasa
tengah jatuh. Benar-benar di bawah. Saya mengecewakan banyak orang yang sudah
berkorban banyak untuk saya. Disaat-saat seperti itu, entah kenapa, yang ingin
saya lakukan hanyalah menulis. Tiap kali menulis, rasanya beban terangkat
sedikit demi sedikit. The power of
writing, mungkin? Itulah sebabnya saya katakan bahwa menulis itu
menyembuhkan.
Disaat
saya sedang getol-getolnya menulis, saya tertarik pada satu rubrik di salah
satau koran lokal saat itu. Biasanya, saya menulis fiksi. Sejujurnya, fiksi
gagal, karena semuanya tidak pernah dimuat di majalah atau koran manapun. Tapi
kali itu, entah mengapa saya mencoba menulis opini. Jadi, dalam satu koran
lokal saat itu, terdapat tema tiap minggunya. Nah, berdasarkan tema itu,
pembaca boleh mengirimkan opininya. Dan yang beruntung, tentu saja, opininya
akan dimuat dengan bonus berupa sejumlah uang. Seminggu kemudian, saya dapati
tulisan saya yang hanya terdiri dari tiga paragraf itu terpampang pada salah satu
halaman koran lokal. Rasanya saya ingin teriak saat itu. Akhirnya! Untuk
pertama kalinya tulisan saya dimuat. Meskipun hanya sebuah opini sepanjang tiga
paragraf, setidaknya, ini awal yang baik, pikir saya saat itu. Saya pun
mendapat bonus alias honor sebesar lima uluh ribu rupiah. Lumayan lah untuk
saya yang masih SMA saat itu. Saya selalu menyebut honor menulis sebagai bonus.
Kenapa ya? Karena saya rasa, apresiasi tertinggi dari sebuah tulisan itu
terletak pada seberapa banyak tulisan itu dibaca, dinikmati dan memberikan
pengaruh terhadap pembacanya. Mendapatkan karya kita berada pada salah satu
halaman media cetak, merupakan hal membahagiakan yang tidak bisa diukur dengan
nominal uang. Meskipun pada akhirnya, setiap orang juga membutuhkan uang. Sejak
hari itu, saya yang sempat berhenti menulis karena merasa tulisan saya tidak
pernah layak muat ini kembali berkutat lagi dengan dunia tulis-menulis.
Tentang
fiksi, saya masih punya mimpi untuk bisa menjadi penulis fiksi. Entahlah, ada
banyak hal berada di kepala ini. Saya sering menemukan tokoh-tokoh imajinatif
di kepala saya, dengan alur hidup mereka yang saya ciptakan sendiri. Kalau mereka
sedang memenuhi pikiran rasanya ingin segera menuangkannya dalam tulisan. Sebenarnya,
kalau mau jeli, setiap orang pasti punya genre
favorit untuk dibaca. Dan biasanya, genre
bacaan favorit akan mempengaruhi genre
tulisan kita juga. Meskipun kadang, tidak semuanya seperti itu. Saya sendiri,
tidak pernah menyadari hal ini sampai suatu hari saya mengingat-ingat apa saja
yang sudah say abaca, mana yang saya suka dan mana yang tidak. Dari situ, saya
menemukan bahwa saya tipe pembaca yang menyenangi cerita berbau traveling. Baik fiksi, maupun non-fiksi.
Contohnya saja salah satu novel dari Ahmad Fuadi, dari trilogi Negeri Lima
Menara-nya, yakni Rantau 1 Muara. Disana tergambar kehidupan penulis ketika
tengah menjalani kehidupan di belahan dunia yang lain. Lalu novel 99 Cahaya di
Langit Eropa, juga Edendor milik Andrea Hirata. Dan tentu saja, The Naked
Traveler-nya mbak Trinity. Cerita-cerita tentang perjalanan, apalagi perjalanan
diluar Indonesia selalu membuat saya semangat membaca. Jujur saja, untuk membaca
buku/novel yang berbau traveling,
saya membutuhkan aktu yang lebih singkat dari novel lain pada umumnya, hal ini
ikarenakan saya haus akan hal-hal yang belum saya ketahui, apa yang ada di
belahan dunia lain, hal-hal yang tak pernah terpikir oleh saya, hal-hal yang
tak pernah saya jumpai. Dan itu membuat saya sulit untuk berhenti membaca,
penasaran akan kisah pada lembar-lembar berikutnya. Disamping novel-novel yang
berbau traveling, saya juga
menyenangi novel-novel yang para remaja senangi pada umumnya. Saya membaca
Refrain, Perahu Kertas, Cerita Hati, bahkan saya juga membaca novel-novel
komedi seperti Idol Gagal, Satu Per Tiga atau Tulang Rusuk Susu. Tapi dari
kesemua novel remaja yang selama ini pernah saya baca, sama halnya dengan
teman-teman lain, pasti selalu ada satu novel yang ‘lebih’ dari yang lain.
Mungkin bisa karena novel itu paling disenangi, atau karena penulisnya adalah
penulis kesukaan atau alasan lain yang membuat novel itu ‘lebih’ dimata kita. Namun
bagi saya, alasan itu adalah seberapa ‘personal’nya novel itu bagi saya. Jujur,
novel yang paling saya kagumi hingga saat ini adalah Perahu Kertas karya Dewi
Lestari. Bukan semata-mata karena kepopulerannya dan kesuksesannya hingga novel
ini telah diangkat menjadi sebah film. Tapi, seperti yang sudah saya ungkapkan,
bahwa alasan saya adalah seberapa ‘personal’ novel itu untuk saya. Ya, Perahu
Kertas ini sangat personal buat saya. Ini sulit dijelaskan. Yang pasti, setiap
kali embaca novel ini, saya benar-benar ada di dalamnya. Saking personalnya
buat saya, saya juga tidak ingin melewatkan dua film-nya, yang kemudian menjadi
dua film favorit saya juga karena sangat personal juga buat saya. Entahlah, saya
benar-benar ada didalamnya.
Yang
jelas, fiksi yang telah menarik tangan saya ke dalam dunia ini, tulis-menulis.
Membuat saya seperti terjerembab ke dalamnya, lalu kemudian tersenyum karena
menikmati tiap prosesnya. Apapun, yang dilakukan dari hati, akan membawa
kebahagiaan. Tentang berhasil atau tidaknya, itu hanya soal waktu, saya rasa.
Toh Thomas Alfa Edison butuh berkali-kali percobaan untuk bisa menemukan bola
lampu yang diharapkan. Jadi, sekadar ditolak oleh media cetak tau pun penerbit,
mestinya tidak membuat kita berhenti menulis. Jadi teman-teman, selamat
menulis!